KASUS BANK SUMMA
Kesulitan Bank Summa berawal dari kiat investasi pada bidang yang salah, yaitu bidang usaha properti yang waktu itu sedang mengalami kelesuan. Bank Summa terlalu banyak menggunakan dananya untuk membiayai perusahaan yang ternyata berada dalam satu grup dalam jumlah yang besar, sehingga telah melanggar ketentuan legal lending limit. Karena kondisi bidang usaha yang dibiayai sedang menurun ditambah dengan pembiayaan yang tidak tepat membuat likuiditas Bank Summa terganggu sementara kewajiban meningkat.
Sebenarnya
setelah mengalami kesulitan likuiditas Bank Summa telah melakukan
langkah-langkah perbaikan. Pada tahun 1991, Direksi Bank Summa menutup
beberapa kantor cabang untuk efisiensi tanpa melakukan PHK. Kemudian
Bank Danamon menambahkan dana melalui interbank call money
sebesar Rp.300 Miliar. Meski demikian keadaan belum membaik dan
diputuskan untuk membuat langkah baru. Tampaknya setelah langkah baru
dibuat, masalah tetap tidak terpecahkan. Akhirnya pada tanggal 12
November 1992, Bank Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa Bank Summa kalah kliring.
Sejak bank diberhentikan dari kegagalan kliring, belum terdapat suatu usulan penyelesaian yang kongkret dari pemilik bank tersebut. Yakni untuk melunasi kewajibannya sampai tanggal 14 Desember 1992 sekitar Rp.1,6 triliun. Dengan mempertimbangkan dampak negatif dari persoalan tersebut pemerintah melalui SK Menkeu No.1253/KMK.01/1992 tanggal 14 Desember 1992 mencabut usaha PT. Bank Summa dan melikuidasi seluruh kekayaannya untuk memenuhi kewajiban kepada nasabah. Sama halnya dengan kasus-kasus bank lainnya, penutupan Bank Summa meresahkan nasabah terutama pada bank-bank swasta di kota tempat cabang bank tersebut. Sampai saat ini masih banyak nasabah Bank Summa yang berhasil menarik uang yang mereka simpan di bank tersebut terutama nasabah yang memiliki simpanan di atas Rp.10 juta.
Comments
Post a Comment