ADA APA DENGAN KITA
Tulisan ini dibuat bukan untuk menyaingi film “Ada Apa
Dengan Cinta” yang saat ini lagi booming di bioskop-bioskop.:D Tapi untuk
menyadarkan kita kembali, setelah terlena dengan berbagai sandiwara-sandiwara
yang kita tonton. Inilah kehidupan Indonesia yang sesungguhnya, sebagai ironi
yang kita abaikan. Sumber daya besar yang dimiliki tidak sejalan dengan
kemakmuran yang kita dapatkan. Terutama yang saya rasakan di daerah ini,
Riau.
Masyarakat Riau adalah masyarakat Melayu yang bukan hanya kaya dengan potensi budayanya tapi juga mempunyai potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar. Dan kekayaan alam itu tersebar di bawah dan di permukaan buminya. Sehingga ada istilah untuk menggambarkan kekayaan SDA Riau "Di bawah minyak, di atas minyak".
Lihatlah berbagai perusahaan multi nasional yang hadir di Bumi Lancang Kuning inI, mulai dari pabrik kelapa sawit, pulp & paper hingga industri pengolah minyak bumi seperti Chevron yang produksi mereka terus mengeksploitasi SDA Riau.
Bank Indonesia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tahun ini mencapai 5,6 persen. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Riau dalam beberapa tahun terakhir didorong membaiknya iklim investasi di Riau.
Dan salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai alat mengukur kemajuan pembangunan ekonomi suatu daerah adalah pendapatan per kapita. Angka ini diperoleh melalui nilai nominal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dikurangi pajak tak langsung netto, dan dikurangi lagi penyusutan kemudian dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun.
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Riau tahun 2015, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Riau sebesar 562.920 ribu jiwa. Sementara jumlah investasi di Riau terus mengalami peningkatan, demikian pula Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang terus menaik, namun persoalan kesejahteraan rakyat masih menjadi kendala.
Pertanyaan besar yang sering muncul di benak saya adalah,. mengapa di negeri yang "kaye raye" seperti Riau masih ada orang yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan? Tentu hal ini harus menjadi pemikiran kita bersama, bukan hanya oleh pemerintah (public sector) saja tetapi juga peran pengusaha (private sector) dan masyarakat luas (third sector).
Di sinilah kita perlu mewujudkan konsep "Social Entrepreneurship" bagi Masyarakat Riau, agar mampu menghadirkan "Sosial Entrepreneur", seperti sahabat Rasulullah SAW yang bernama Usman bin Affan. Ia membeli sumber mata air yang kemudian disumbangkan untuk masyarakat muslim ketika musim kemarau. Atau seperti Abdurrahman bin Auf yang merintis usaha kembali pasca hijrah di Kota Madinah yang kemudian menjadi konglomerat muslim yang banyak membantu perjuangan dakwah Islam kala itu.
Bahkan di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika kesejahteraan masyarakat betul-betul berada di puncaknya, zakat dari Baitul Maal yang diperuntukkan bagi masyarakat tidak ada lagi yang mau menerimanya, karena pada masa itu mereka semua warga di bawah kepemimpinannya sudah berstatus sebagai muzakki (pembayar zakat), tidak ada lagi yang berstatus mustahik (penerima zakat).
Semoga kita mampu menghadirkan sosok "Sosial Entrepreneur" sebanyak-banyaknya di Bumi Lancang Kuning yang kita cintai ini. Sehingga mampu memberikan manfaat kepada orang banyak, dan membantu terwujudnya kesejahteraan di Indonesia.
Comments
Post a Comment