SALAH KAPRAH DALAM MANAJEMEN



What industrialization was to the 19th century, management is to the 20th. Kata-kata tersebut dikutip dari seorang wartawan senior majalah bisnis Fortune, Max Ways. Karena dalam waktu singkat, manajemen sebagai disiplin ilmu dan profesi diterima oleh masyarakat luas pada abad ini. Hal ini telah lama sebenarnya menjadi perdebatan dan diskusi panjang apakah manajemen itu ilmu atau seni. Malahan beberapa klien saya masih ada yang bilang, “manajemen is bullshit”. Karena ia tanpa belajar manajemen sekalipun, bisa sukses dan hanya tamat SD. Menurut saya pandangan orang tersebut keliru. Kenapa? Kita harus bisa membedakan kapan manajemen tersebut sebagai ilmu, dan kapan sebagai seni.
Jika kita menilik dari sejarah perkembangan manajemen, sebenarnya jauh sebelum manajemen itu dikenal oleh orang-orang, nenek moyang umat manusia telah melakukan proses manajemen tersebut. Orang Mesir membangun piramidanya, Indonesia dengan candi-candinya, Cina dengan tembok Besar, dan banyak contoh lainnya yang tidak mungkin hal tersebut dapat terealisir tanpa adanya proses manajemen. Jadi saat kita melakukan praktik manajemen seperti perencanaan, pembagian kerja, evaluasi, dan kepemimpinan, maka disaat itulah manajemen berperan sebagai seni. Karena disaat kita mengelola orang yang satu dengan yang lainnya, mungkin dibutuhkan cara yang berbeda. Begitu juga dengan mengelola uang, barang dan waktu dilakukan dengan cara yang berbeda atau yang disebut dengan seninya manajemen. Oleh karena itu, orang yang hanya tamat SD bisa sukses berbisnis, sebenarnya tanpa ia sadari telah melakukan praktik manajemen. Mustahil orang bisa sukses dengan memanaje orang, uang, barang dan waktunya secara amburadul. Dalam hal ini manajemen berperan sebagai seni.
Kalau begitu adanya, berarti dibutuhkan pengalaman dan jam terbang dalam manajemen. Lantas kenapa manajemen bisa dianggap sebagai ilmu/sains? Sejarah munculnya era manajemen ilmiah dipicu oleh Revolusi Industri. Pada awal abad ini manajemen sains disebut sebagai Taylorism, setelah pengembangnya F Taylor, makin populer di kalangan bisnis dengan metode kuantitatifnya. Sebelum perang dunia II, sebuah tim ilmuwan menyelesaikan persoalan operasional dalam pengkoordinasian pusat radar Inggris dalam menghadapi serangan Jerman. Dan selama perang itu pemanfaatan imuwan untuk bekerja dalam penanganan persoalan operasional terbukti sukses bagi militer Inggris dan Amerika. Setelah perang dunia II berakhir dikembangkanlah teknik statistika untuk pengendalian kualitas. Metode statistika yang pertama kali dirancang pada awal abad ke 20, menjadi dasar matematis untuk ekonometrika. 
Dalam manajemen sains, manajer menggunakan matematika dan komputer untuk membuat keputusan rasional dalam menyelesaikan permasalahan. Untuk persoalan yang sederhana, seorang manajer dapat menyelesaikannya hanya berdasar kepada pengalaman-pengalaman masa lalu. Sehingga pada persoalan dan dalam kondisi yang sama, keputusan seorang manajer bisa berbeda dengan manajer lainnya, hanya karena pengalaman yang berbeda. Namun saat ini persoalan makin kompleks, dan berdasar pengalaman saja tidak mencukupi untuk membuat keputusan rasional bagi seorang manajer. Mengingat berbagai alternatif pemecahan masalah kadang menjadi terlalu rumit, menghabiskan waktu, membutuhkan informasi yang kompleks atau banyaknya alternatif keputusan. Untuk itu dibutuhkan pendekatan proses pembuatan keputusan yang ilmiah yang dapat menghasilkan solusi optimal bagi setiap persoalan. Disaat inilah manajemen sebagai ilmu/sains.
Jadi kesimpulannya terdapat 2 hal tentang manajemen, yaitu manajemen sebagai seni yang disebut dengan manajemen terapan dan manajemen sebagai ilmu yang disebut dengan manajemen sains. Kedua hal ini dapat dipelajari dengan pendekatan studi kasus (manajemen terapan), dan pendekatan matematis dan statistik (manajemen sains). Dengan pemahaman yang benar kita dapat membedakan kapan manajemen disebut sebagai ilmu atau seni, sehingga kita tidak salah kaprah dalam menilai manajemen.

Comments

Popular Posts