MODEL PENGENDALIAN PERSEDIAAN/INVENTORY

        Persediaan/ Inventori (Inventory) adalah persediaan atau stok berbagai item atau sumber-sumber yang digunakan dalam organisasi. Sistim Inventori adalah seperangkat kebijakan dan pengendalian yang memantau tingkat persediaan dan menentukan berapa tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan persediaan harus ditambah, dan seberapa besar pesanan harus dibuat.

        Persediaan didefinisikan sebagai barang, bahan-bahan, atau asset yang dimiliki oleh perusahaan untuk digunakan di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang persediaan dapat dipandang sebagai masalah taktis (tactical problem), sehingga perencanaan kebutuhan persediaan direncanakan dalam kontek jangka waktu menengah selaras dengan keseluruhan rencana produksi, strategi pemasaran dan distribusi.

        Secara  konvensional, inventori perusahaan manufaktur menunjuk pada item-item yang menjadi bagian dari produk akhir perusahaan. Persediaan dalam manufaktur diklasifikasikan menjadi persediaan bahan baku (raw materials), produk jadi (finished products), komponen (component parts), bahan penolong (supplies) dan barang dalam proses ( work in process). Pada perusahaan jasa, inventori  menunjuk pada barang-barang tangible yang dijual dan bahan penolong yang diperlukan untuk menyajikan jasa. Dalam kebanyakan text book, pembahasan inventori senantiasa difokuskan pada persediaan bahan baku di perusahaan manufaktur.


Jenis Persediaan/ Inventori
        Ada beberapa jenis persediaan antara lain:
  • Persediaan bahan mentah dan bagian-bagiannya.
  • Persediaan komponen
  • Persediaan barang dalam proses
  • Persediaan barang jadi
  • Persediaan supplies

Tujuan Persediaan/ Inventori

    Semua perusahaan termasuk juga  yang operasinya menganut konsep JIT menjaga ketersediaan inventori dengan alasan sebagai berikut:
  • Menjaga independensi operasi. Dengan adanya ketersediaan bahan baku pada pusat kerja memungkinkan fleksibilitas operasi dari pusat tersebut, sehingga mengurangi biaya set-up setiap dilakukan set-up produksi yang baru.
  • Untuk menjaga variasi/fluktuasi permintaan produk. Oleh karena, dalam banyak hal, permintaan tidak dapat diperkiraan dengan sangat tepat, maka untuk dapat mengantisipasinya diperlukan adanya persediaan pengamanan (safety/buffer stock).
  • Memungkinkan fleksibilitas dalam pembuatan skedul  produksi. Dengan adanya persediaan perusahaan dapat menentukan jadual produksi sesuai permintaan sekalipun lead time bahan lama.
  • Memberikan kemanan terhadap variasi waktu pengantaran bahan. Waktu datangnya pesanan bisa saja tertunda yang penyebabnya banyak misalnya adanya kecelakaan, kemacetan lalu lintas, pemogokan atau bencana alam dll. Dengan adanya persediaan perusahaan dapat meminimalisasi pengaruh keterlambatan tersebut terhadap kelancaran operasi.
  • Mendapatkan keuntungan ekonomis dari jumlah pembelian yang lebih besar. Misalnya adnya diskon/potongan harga untuk pembelian dengan jumlah besar tertentu.

Alasan Perlunya Penyelenggaraan Persediaan/ Inventori

    Setidaknya ada empat alasan mengapa perusahaan memerlukan persediaan, yakni:
  • Kesulitan memprediksi tingkat penjualan dan waktu produksi secara akurat (fluctuation inventory).
  • Beberapa item barang memiliki permintaan yang bersifat seasonal (anticipation inventory)
  • Mendapatkan manfaat dari economic of scale dalam produksi dan pembelian (lot size inventory).
  • Jarak dan waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang sehubungan dengan  proses transit dalam sistem logistik. untuk sejumlah besar persediaan (pipe-line inventory).
  • Keterlambatan kedatangan bahan baku yang dipesan dapat mengakibatkan terhentinya pelaksanaan produksi.
        Perusahaan dapat saja menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang besar, namun demikian persediaan yang besar tidak selalu menguntungkan perusahaan. Beberapa kerugian sehubungan dengan penyelenggaraan persediaan dalam jumlah besar antara lain:
  • Biaya penyimpanan yang menjadi tanggungan perusahaan akan besar.
  • Perusahaan harus mempersiapkan dana yang cukup besar untuk mengadakan pembelian bahan.
  • Tingginya biaya simpan dan investasi dalam persediaan akan mengakibatkan berkurangnya dana untuk pembiayaan dan investasi di bidang lain.
  • Perusahaan menanggung kemungkinan yang cukup besar risiko kerusakan persediaan akibat perubahan kimiawi atau sebab lain.
  • Bila terjadi penurunan harga bahan baku, maka perusahaan akan menderita kerugian yang cukup besar pula. Di sisi lain, bila perusahaan menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang relatif terlalu kecil, maka beberapa kelemahan dari kebijakan tersebut antara lain:
  • Adanya kemungkinan kehabisan bahan karena persediaan habis sebelum waktunya.
  • Akibat sering kehabisan bahan, maka proses produksi menjadi tidak lancar.
  • Persediaan yang terlalu kecil akan meningkatkan frekuensi pembelian, sehingga biaya pesannya pun akan meningkat selaras dengan peningkatan frekuensi pembelian.
        Untuk menghindari penyelenggaraan persediaan yang terlalu besar maupun yang terlalu kecil, berikut ini beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam menyelenggarakan persediaan:
  • Berapa besarnya jumlah unit persediaan bahan yang diselenggarakan perusahaan.
  • Kapan dan berapa jumlah unit bahan akan dibeli oleh perusahaan.
  • Kapan perusahaan yang bersangkutan akan mengadakan pembelian kembali.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persediaan
    Terdapat beberapa macam faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku. Adapun beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:
  • Perkiraan pemakaian bahan baku.
  • Harga bahan baku
  • Biaya persediaan
  • Kebijakan pembelanjaan
  • Pemakaian bahan
  • Waktu tunggu
  • Model pembelian bahan
  • Persediaan pengaman
  • Pembelian kembali

Karakteristik Persediaan/ Inventori :Independent Demand dan Dependent Demand
        Dalam mengelola inventori, perlu dipahami tentang perbedaan antara permintaan independen dan dependen. Secara singkat, perbedaan antara permintaan independen dan dependen yaitu kalau permintaan independen merupakan permintaan yang hanya terkait dengan barang itu sendiri, atau suatu permintaan terhadap berbagai item barang yang tidak ada kaitannya antara satu dengan yang lain. Misalnya, suatu departemen atau divisi menghasilkan berbagai barang/komponen yang tidak saling terkait yang semata-mata untuk memenuhi permintaan eksternal. Misalnya permintaan roti, sepeda, mobil, obat-obatan. Sedangkan permintaan dependen adalah permintaan terhadap suatu barang/komponen sehubungan dengan adanya kebutuhan akan barang/komponen lain yang tersusun dari berbagai komponen. Misalnya permintaan akan ban sepeda divisi ban sepeda muncul karena adanya permintaan akan sepeda pada bagian assembling sepeda.  Permintaan ban sepeda pada divisi ban merupakan permintaan dependen dari divisi lain dalam satu organisasi.


Klasifikasi Masalah Persediaan/ Inventori 
        Langkah awal dalam menganalisis masalah persediaan dilakukan dengan menggambarkan karakteristik pokok dari lingkungan dan sistim persediaan  Berikut karakteristik, atribut, dan persoalan dalam persediaan:


Penjelasan:
  • Independent Demand adalah permintaan yang tidak dipengaruhi oleh operasi perusahaan melainkan dipengaruhi oleh pasar
  • Dependent Demand adalah permintaan yang terkait dengan permintaan item lain.
  • Deterministic Demand adalah permintaan yang relatif tidak berfluktuasi sehingga dapat diramalkan secara akurat.
  • Stochastic Demand adalah permintaan yang fluktuasi dan variabilitasnya sangat tinggi sehingga sulit diramalkan.
  • Static demand adalah permintaan yang tidak berfluktuasi dari waktu ke waktu.
  • Dynamic Demand adalah jumlah permintaan yang senantiasa bervariasi dari waktu ke waktu.
  • Lead Time adalah jangka waktu antara saat pemesanan dengan saat barang datang dan diterima.
  • Stock-out adalah kehabisan persediaan


Biaya Persediaan (Inventory)

        Dalam membuat keputusan terhadap besarnya inventori, beberapa item biaya berikut perlu dipertimbangkan:
  • Purchasing cost of item. merupakan biaya yang timbul dari pembelian persediaan
  • Ordering- cost (preparation set-up cost). Biaya pesan merupakan biaya yang terjadi karena adanya kegiatan pemesanan kepada vendor hingga barang sampai di gudang atau pengorganisasian untuk memulai produksi di dalam pabrik. Biaya klerikal dan manajerial untuk menyiapkan pembelian atau pemesanan. Misalnya biaya telpon, pencatatan.
  • Inventory-holding cost, biaya simpan mencakup semua biaya yang terjadi karena penyimpanan persediaan.. Yang termasuk golongan biaya ini misalnya biaya fasilitas penggudangan, penanganan, asuransi, kerusakan, kedaluwarsaan, depresiasi, pajak dan opportunity cost of capital.
  • Shortage cost (good-will cost), biaya yang timbul karena adanya permintaan yang tak terlayani sehubungan dengan kehabisan persediaan atau biaya yang timbul akibat kehabisan bahan dan pemesanan masih menunggu waktu.
  • Setup (production change) cost. Biaya yang timbul sehubungan dengan pembuatan produk yang berbeda yang memerlukan perubahan bahan, penyusunan spesifikasi mesin, dll.
        Dari keempat jenis biaya persediaan tersebut di atas, yang digunakan dalam perhitungan biaya persediaan (Total Inventory Cost disingkat TIC) adalah Ordering Cost (Co) dan Holding Cost (Ch). Selanjutnya TIC secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
 
                  
dimana
TIC    : Total Inventory Cost
Q/2    : persediaan rata-rata
R/Q    : frekuensi pemesanan
Ch = H    : biaya penyimpanan per unit barang per satu satuan waktu
Co = Cs = S  : biaya pemesanan setiap kali pesan

        Biaya simpan per unit barang per satu satuan waktu memiliki hubungan yang positif terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam setiap kali pesan, semakin banyak barang yang disimpan, semakin besar pula biaya simpan yang ditanggung. Sebaliknya biaya pemesanan setiap kali pesan memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam setiap kali pesan, semakin kecil frekuensi pembelian, semakin rendah pula biaya pemesanan yang harus ditanggung perusahaan. Dengan kata lain bahwa biaya pesan memiliki hubungan yang positif terhadap frekuensi pemesanan. Berikut ini gambaran secara grafis yang menunjukkan hubungan antara biaya simpan, biaya pesan dan jumlah barang yang dipesan dalam setiap kali pesan.


   

TIC minimum akan terjadi pada tingkat jumlah pembelian yang paling ekonomis atau disebut Economic Order Quantity.

        Sedang untuk menghitung Total Biaya Anual (TAC( sering juga disingkat TC adalah sebagai berikut:


Dimana
D = R = Kebutuhan satu tahun
C = P = Harga perolehan barang
S= Cs = Co = Biaya Pesan per pesanan
H = Ch = Biaya Simpan per unit


Analisis Persediaan Metode ABC

        Konsep ABC Inventory Analysis pertama kali dikenalkan oleh H.F. Dickie di General Electric pada awal tahun 1950-an. Teknik ABC ini merupakan salah satu alat manajemen yang sangat berharga untuk mengidentifikasi dan mengendalikan item-item persediaan yang penting. Konsep ABC membagi atau mengelompokkan item-item persediaan menjadi tiga kelompok:

1) Kelompok A
item-item persediaan yang dikelompokkan ke dalam kelompok A ini adalah item-item persediaan yang bernilai besar namun merupakan bagian kecil dari keseluruhan item persediaan yang ada. Ciri khusus dari kelompok ini antara lain memiliki nilai berkisar antara 70% - 80% dari seluruh nilai persediaan yang ada, dan kuantitasnya berkisar antara 15% - 30% dari seluruh jumlah persediaan.

2) Kelompok C
item-item persediaan yang masuk kategori C adalah item-item persediaan yang memiliki nilai rendah, namun merupakan bagian terbesar dari seluruh persediaan. Nilai persediaan kelompok ini berkisar antara 5% - 15% dari seluruh nilai persediaan, dan jumlahnya berkisar 50% dari seluruh jumlah persediaan.

3) Kelompok B
suatu item persediaan akan dikategorikan dalam kelompok B bila memiliki karakteristik antara A dan C.

        Perlu diketahui bahwa angka-angka prosentase yang diberikan dalam penjelasan bukanlah harga mati, angka-angka tersebut hanyalah guidelines saja. Sebenarnya, tidak ada aturan yang spesifik berkaitan dengan batasan antara kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.

        Jika pengelompokkan persediaan tersebut digambarkan secara grafis dimana sumbu vertikal menunjukkan prosentase nilai persediaan dan sumbu horisontal menunjukkan prosentase jumlah persediaan, maka akan terlihat seperti kurva dan disebut kurva ABC.

        Dari analisis persediaan ABC, manajemen memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mengendalikan persediaan. Misalnya, persediaan yang masuk kelompok A menggambarkan investasi persediaan yang bersifat substansial sehingga persediaan tersebut memerlukan pengawasan dan pengendalian yang ketat yang meliputi pencatatan yang lebih akurat dan komplit, pengawasan dan inspeksi tingkat persediaan yang terus menerus, perhitungan yang tepat, menempati posisi prioritas utama dan diberi perhatian yang maksimum berkaitan dengan jumlah dan frekuensi pemesanan.

        Sebaliknya, untuk persediaan yang masuk kategori C, relatif kurang membutuhkan perhatian atau pengendalian yang seketat kelompok A maupun B. Jumlah yang besar sering memberikan keuntungan dalam hal pengurangan biaya pengangkutan, dan tingkat prsediaan dapat diawasi secara periodik tanpa membutuhkan catatan-catatan formal. Sementara, persediaan kategori B yang merupakan persediaan dengan nilai dan jumlah yang berada di tengah-tengah antara A dan C, memerlukan pengendalian dan pengawasan yang lebih dari C, namun tidak seketat pengendalian dan pengawasan untuk persediaan kategori A.

Kurva ABC Inventory Analysis




Economic Order Quantity (EOQ)

        Bahan mentah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu, penyediaan bahan mentah yang tepat, baik dalam arti jumlah maupun waktu, akan sangat mendukung kelancaran proses produksi. Persediaan bahan yang minim memungkinkan terjadinya kekurangan bahan. Kekurangan bahan mentah yang tersedia (stock-out) dapat berakibat terhentinya proses produksi karena kehabisan bahan untuk diproses. Namun, dilihat dari sisi positif, jumlah persediaan bahan yang rendah dapat menghemat biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan adanya persediaan dan dapat mengurangi risiko kerusakan bahan akibat terlalu lama disimpan. Di sisi lain, persediaan bahan mentah yang terlalu besar jumlahnya (over-stock) memang dapat menjamin kelancaran proses produksi karena bahan senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup, namun bila dilihat dari segi finansial, persediaan bahan yang terlalu besar akan meningkatkan biaya persediaan dan risiko kerusakan.

          Persoalan dalam pengaturan persediaan bahan mentah adalah bagaimana berusaha menyediakan bahan mentah yang diperlukan untuk proses produksi sehingga proses produksi dapat berjalan lancar dengan biaya persediaan yang minimal. Tujuan pengawasan persediaan bahan mentah adalah untuk menjawab persoalan tersebut baik dalam artian jumlah, kualitas maupun waktu.

        Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan di dalam berproduksi selama satu tahun dapat diperhitungkan dari rencana hasil produksi yang akan dihasilkan dengan kebutuhan bahan mentah untuk satu satuan barang jadi. Setelah diketahui jumlah kebutuhan bahan mentah, maka perlu direncanakan juga mengenai cara pembeliannya atau cara penyediaannya. Dalam hal cara penyediaan/pembelian pada garis besarnya terdapat dua alternatif yaitu:
  1. Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan, dan kemudian disimpan di gudang, sehingga setiap kali ada kebutuhan tinggal mengambil di gudang. Cara ini lebih menjamin kelancaran proses produksi, dalam artian bahwa bahan mentah untuk keperluan proses produksi telah tersedia dalam jumlah besar. Namun demikian, di sisi lain, cara ini membawa konsekuensi  bahwa perusahaan harus menanggung biaya persediaan atau paling tidak biaya penyimpanan yang tinggi.
  2. Alternatif yang kedua ialah berusaha memenuhi kebutuhan bahan mentah untuk keperluan proses produksi dengan membeli dalam jumlah yang relatif kecil dalam setiap kali pembelian dengan frekuensi pembelian yang lebih sering. Cara ini akan membawa kemungkinan terlambatnya bahan mentah. Apabila keterlambatan penyediaan bahan mentah terjadi, maka proses produksi dapat terganggu. Sedangkan keuntungan dari cara kedua ini ialah bahwa perusahaan tidak perlu menanggung biaya penyimpanan bahan mentah yang terlalu besar. Dalam hal ini biaya penyimpanan dibebankan pada leveransir bahan mentah.

        Dari dua cara ekstrim tersebut, manajemen berusaha untuk menentukan kebijaksanaan penyediaan bahan baku yang optimal dalam arti dapat menjamin kelancaran proses produksi dan biaya yang ditanggung ada pada tingkat minimal. Untuk keperluan tersebut biasanya digunakan metode yang disebut metode Economic Order Quantity (EOQ).

        Pengertian EOQ adalah volume pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap kali pembelian. Secara matemastis dinyatakan sebagai berikut:



dimana
R    : kebutuhan bahan mentah satu tahun
Co = Cs = S    : Ordering Cost setiap kali pesan
Ch = H   : Holding Cost per unit per satu satuan waktu

Model EOQ di atas dikembangkan dengan asumsi:
  • Hanya ada satu jenis/item persediaan yang hendak direview.
  • Seluruh jumlah bahan mentah yang dipesan datang pada satu titik waktu tertentu.
  • Permintaan akan bahan bersifat konstan atau mendekati tingkat konstan.
  • Lead time konstan.
  • Holding cost didasarkan pada rata-rata persediaan
  • Ordering atau setup cost konstan
  • Tidak terjadi kehabisan bahan.
  • Tidak ada pengembalian barang yang sudah dipesan


Contoh 01 Menghitung EOQ dan TIC
Misalnya kebutuhan bahan untuk satu tahun sebesar 24.000 unit,
biaya simpan 18% dari nilai persediaan,
dan biaya pesan setiap kali pemesanan Rp.38,00.
Harga barang per unit Rp.12,00.

Diminta menghitung jumlah pembelian yang paling ekonomis setiap kali pembelian/ pemesanan.

Pembahasan
Dari data seperti itu diperoleh EOQ sebesar 919 unit. Artinya, bahwa jumlah yang paling ekonomis untuk setiap kali pembelian/pemesanan bahan adalah sebesar 919 unit. Selanjutnya, berdasarkan jumlah pembelian setiapkali pesan pada tingkat EOQ, yaitu sebesar 919 unit, dapat dihitung besarnya Total Inventory Cost  (TIC), yakni sebesar Rp.1.984,90


Reorder Point (Saat Pemesanan Kembali)

        Dengan menggunakan model EOQ, kita dapat mengetahui berapa banyak yang harus dipesan dalam setiap kali pemesanan, sekarang akan dicoba menjawab pertanyaan kapan dilakukan pemesanan kembali. Untuk sistem persediaan yang menggunakan asumsi bahwa tingkat kebutuhan yang konstan dan lead time yang tetap, maka saat pemesanan kembali (Re-Order Point) sama dengan  kebutuhan selama lead time. Secara matematik dinyatakan sebagai berikut:
ROP = d x lt

ROP    : Reorder Point
d    : Kebutuhan per hari
lt    : lead time


         Melanjutkan contoh menghitung EOQ sebelumnya, dengan mengandaikan perusahaan beroperasi 250 hari setahunnya, maka dapat dihitung kebutuhan per hari yaitu sebanyak 96 unit (24.000/250). Apabila pengantaran bahan dari saat pesan hingga barang datang dan siap digunakan memerlukan waktu 3 hari atau lead timenya adalah 3 hari, maka dapat dihitung kebutuhan bahan selama lead time, yakni sebesar 288 unit ( 3 x 96). Bila diasumsikan bahwa kebutuhan bersifat konstan dan lead time tetap, maka saat pemesanan kembali (ROP) dilakukan pada waktu persediaan di gudang berada pada tingkat 288 unit.


Cycle Time
        Setelah ROP diketahui, maka dapat dihitung jarak waktu antara satu pemesanan dengan pemesanan berikutnya atau yang disebut cycle time. Secara matematik, perhitungan Cycle Time adalah sebagai berikut:
                 
Keterangan:
T    : Cycle Time
Q*    : EOQ
R    : Kebutuhan bahan selama satu tahun
N    : jumlah hari operasi dalam satu tahun

Dengan melanjutkan contoh di atas, dapat dihitung Cycle Time, yaitu 9,6 hari. Artinya, bahwa pemesanan dilakukan setiap 9,6 hari sekali.

   
Analisis Sensitivitas dalam Model EOQ
        Meskipun lead time, biaya simpan dan biaya pesan telah ditetapkan, namun dalam banyak hal penetapan angka-angka tersebut berdasarkan estimasi. Karenanya pula harus disadari bahwa ada kemungkinan estimasi mengenai lead time, biaya simpan, dan biaya pesan tidak tepat betul. Bila demikian yang terjadi, lalu berapa  jumlah pembelian yang dapat dianjurkan dalam setiap kali pemesanan? untuk menentukannya, dapat dilakukan perhitungan jumlah pembelian setiap kali pesan di bawah beberapa kondisi yang berbeda-beda, berikut akibatnya terhadap biaya persediaan total, atau dengan kata lain dilakkan analisis sensitivitas.

        Analisis sensitivitas dalam model EOQ memiliki arti penting bagi manajemen, karena bagaimanapun hasil perhitungan EOQ bukan merupakan keputusan akhir. Apa yang ditunjukkan oleh model EOQ merupakan masukan bagi manajemen dalam membangun keputusan akhir kebijaksanaan persediaan. Sekalipun EOQ merekomendasikan suatu jumlah pembelian yang ekonomis dalam setiap kali pemesanan, namun EOQ bisa jadi belum mempertimbangkan seluruh aspek situasi persediaan. Karenanya pula, pengambil keputusan harus memiliki kebebasan untuk memodifikasi jumlah pembelian yang direkomendasi oleh EOQ untuk dapat memenuhi  kekhasan lingkungan dari situasi persoalan persediaan yang dihadapi.

    Diambilkan contoh misalnya, hasil perhitungan EOQ, dan selanjutnya ditemukan cycle time 9,6 hari. Angka 9,6 hari di sini adalah angka matematis, dalam realitasnya sangaat sulit untuk dipenuhi, maka dilakukan pembulatan menjadi 10 hari atau 9 hari. Pembulatan angka cycle time ini akan memberikan akibat pada perubahan jumlah yang dibeli untuk setiap kali pemesanan (Q). Oleh karena Q berubah, maka TIC-nya juga akan berubah. Untuk memilih apakah cycle time dibulatkan menjadi 9 hari atau 10 hari, harus dilihat pada dampaknya terhadap TIC.


Menentukan Tingkat Safety Stock
    Dengan ditemukannya EOQ, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk terjadi kekurangan persediaan (stock-out) di dalam proses produksi. Pada kondisi permintaan stochastic, sangat tidak realistis bila seorang manajer mengatakan bahwa ia tidak akan mentolerir terjadinya kekurangan persediaan. Kemungkinan kekurangan persediaan tetap ada dan timbul karena:
  1. Penggunaan bahan dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya sehubungan dengan sifat permintaan yang stochastic, sehingga persediaan telah habis sebelum pembelian atau pesanan yang berikutnya datang.
  2. Pesanan/pembelian bahan tidak datang tepat pada waktunya atau lead time ternyata tidak tetap.
        Untuk mengatisipasi dua keadaan di atas sehingga terhindar dari stock-out, perusahaan perlu mengadakan persediaan besi (safety stock), yang akan dekat kaitannya dengan Re-Order Point. Menentukan Re-order Point yang telah mempertimbangkan safety stock memerlukan data distribusi probabilitas dari lead time  yang diperoleh dari hasil analisis data historis. Dari probabilitas lead time itu pula dapat diketahui mengenai probabilitas terjadinya stock out. Asumsinya adalah bahwa distribusi probabilitas dari lead time merupakan disribusi normal.

         Kemudian, ditentukan Service Level, yang menunjukkan probabilitas yang diharap bahwa perusahaan tidak akan mengalami stock-out selama lead time. Sebagai contoh, service level 95% artinya bahwa probabilitas tidak terjadi kekurangan persediaan sampai datangnya pesanan sebesar 95%. Dengan kata lain, bahwa kemungkinan terjadinya stockout atau stockout yang ditolerir adalah sebesar 5%. Selanjutnya dengan menggunakan data-data statistik ditentukan Re-Order Point sebagai berikut:

            
  
Keterangan:
ROP    : Reorder Point
u (Miu)*    : kebutuhan bahan yang diharap selama lead time
z.*    : safety stock
Rho    : angka standar deviasi dimana probabilitas stock out dapat diterima

Dengan adanya safety stock sebesar z.*, besarnya TIC menjadi:
Total Biaya pesan + Total Biaya simpan persediaan normal + Total biaya simpan safety stock

Contoh:
Manajemen sebuah perusahaan menginginkan service level 95%, atau probabilitas 5% untuk terjadinya stockout selama lead time. Dari tabel Z diperoleh angka 1,645 standar deviasi di atas rata-rata. Dengan asumsi distibusi normal, kebutuhan bahan selama lead time, rata-rata 577 unit dan standard deviasi 100 unit, dapatlah ditentukan Re-Order Point:
        ROP = 577 + 1,645(100) = 742 unit


Pemesanan kembali dilakukan bila persediaan di gudang tersisa 742 unit.


Model Persediaan Dengan Shortage/ Stockout (Kehabisan Bahan)

        Pada beberapa situasi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kehabisan persediaan (shortages/ stockout), artinya kemungkinan terjadinya bahwa permintaan tidak dapat dipenuhi dengan persediaan atau produksi yang ada. Hal demikian sering merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki sehingga harus diantisipasi dan sejauh mungkin dihindari. Namun demikian, tidak semua kasus kehabisan persediaan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan, ada kalanya situasi tersebut memang dikehendaki dilihat dari sudut ekonomi.

        Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai per unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan  dealer  mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.

    Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini dikembangkan dengan asumsi:
  • Ketika pelanggan memesan barang, perusahaan tidak dapat memenuhi karena kehabisan persediaan.
  • Pelanggan tidak membatalkan pesanannya dan bersedia menunggu barang datang.
  • Waktu tunggu backorder relatif pendek.
  • Perusahaan memberikan jaminan bahwa pelanggan yang telah menunggu menjadi prioritas utama.

    Pada model persediaan untuk situasi stockout, biaya yang dipertimbangkan tidak hanya biaya pesan dan biaya simpan saja. Namun masih ditambah biaya yang disebut Backorder Cost atau Stockout Cost. Biaya yang termasuk kategori Backorder cost atau stockout Cost antar lain biaya tenaga kerja dan pengantaran khusus yang terkait secara langsung dengan penanganan backorder, a loss of goodwill dalam bentuk waktu pelanggan menunggu. berikut ini total biaya persediaan annual sehubungan dengan adanya kehabisan bahan:
Total Annual Inventory Holding Cost  (H)       =
 


Total Annual Ordering Cost( S)        = 


Total Annual Backorder/Stockout Cost    = 


   
Dengan demikian Total Biaya Persediaan (TIC) sebesar
  


    Apabila biaya Holding cost, Ordering cost, dan Backorder cost dapat diestimasi, maka dapat ditentukan besarnya jumlah pemesanan yang optimal (Q* ) dan jumlah backorder yang optimal (S*) atau Q dan S yang meminimumkan biaya, dengan formula sebagai berikut:


       

Keterangan:
Ch    : biaya simpan per unit per waktu
Co    : biaya pesan setiap kali pemesanan
Cb    : biaya backorder atau biaya kehabisan persediaan per unit per satu satuan waktu
R    : kebutuhan/permintaan selama satu waktu
Q    : jumlah pembelian/pesanan setiap kali melakukan pemesanan
S    : jumlah kekurangan persediaan untuk satu satuan waktu
Q*    : jumlah pembelian/pemesanan optimal dengan mempertimbangkan backorder
      untuk setiap kali pemesanan
S*    : jumlah backorder atau kekurangan persediaan yang optimal per satu satuan waktu



EOQ Kasus Diskon

         Seperti yang telah diketahui bahwa asumsi yang digunakan pada model EOQ adalah antara lain jumlah kebutuhan tahunan dan harga beli per unit bahan dianggap tetap. Namun, dalam kenyataan asumsi-asumsi tersebut sulit untuk dipenuhi. Sering dijumpai bahwa untuk tingkat pembelian tertentu, suplier menawarkan diskon. Pertanyaannya bagaimana mengevaluasi tawaran diskon tersebut bila dikaitkan dengan EOQ.

        Untuk menganalisis tawaran diskon, dilakukan prosedur evaluasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Menghitung EOQ untuk setiap unit biaya yang terkait dengan setiap kategori diskon yang ditawarkan.
  2. Bila EOQ tidak berada pada kategori diskon maka dilakukan evaluasi terhadap batas bawah jumlah dari setiap kategori diskon dengan menghitung Total Annual Cost untuk   masing-masing batas bawah kategori diskon. Total Annual Cost diperoleh dari penjumlahan TIC dengan biaya pembelian tahunan. Biaya pembelian tahunan untuk setiap kategori diskon dihitung dengan cara mengalikan harga masing-masing kategori diskon dengan jumlah kebutuhan satu tahun. Bila EOQ ada yang berada di atas jumlah untuk kategori diskon tertentu maka kategori yang ada di bawahnya tidak perlu dievaluasi.  
  3. Jumlah pembelian/pemesanan yang memiliki biaya annual terendah merupakan jumlah pembelian/pemesanan yang optimum


Contoh EOQ Kasus Discount
Diketahui
D = 10.000 unit (permintaan tahunan)
S = Rp.20,- per pesan
i = 20% dari harga per tahun
C= P = per unit tergantung besarnya pemesanan; pesan di bawah 499 unit harga per unit =
Rp.5,00; pesan antara 500 sampai 999 unit, harga per unitnya Rp.4,50, sedang bila pesan
di atas 1.000, harga per unitnya 3,90.

Berapa jumlah yang harus dipesan?

Pembahasan
Langkah 1
Masing-masing kategori harga dicari EOQ-nya. Dari perhitungan tersebut dapat
ditentukan jumlah pemesanan yang feasible dan yang tidak.
  • Untuk C=P= Rp.5,- maka EOQ= 633 , tidak feasible,
  • untuk C=P=Rp.4,5 maka EOQ-nya = 666, feasible
  • untuk C=P=Rp.3,9, maka EOQ-nya = 716, tidak feasible
  • Untuk C=P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible

Langkah 2
Dari yang feasible, dihitung TC atau TAC-nya
  • untuk C=P=Rp.4,5 maka EOQ-nya = 666, feasible dengan TC Rp.45.599,7,
  • untuk C=P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible dengan TC=Rp39.590


Langkah 3
selanjutnmya dipilih yang TC atau TAC terkecil.
Untuk C=P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible dengan TIC=Rp39.590 dan ini merupakan solusi optimal.
Sumber : Hendra Poerwanto G, https://sites.google.com/site/operasiproduksi/persediaan-inventori
www.hendramo.web.id

Comments

Popular Posts